Minggu, 13 Oktober 2013

Kakek Batu

Dahulu kala hidup dua orang pemuda kakak beradik. Mereka bekerja menggarap ladang sayur mereka. Ketika sang kakak menikah, ia memberikan sebuah mantel  hujan dari ilalang dan sebuah cangkul. Disuruhnya adiknya mencari tanah sendiri. Pada masa itu, orang Cina tidak membeli jas hujan di toko. Mereka membuat jas hujan dari rumput dan ilalang. 

Sang adik pergi ke gunung mencari tanah untuk dijadikan ladang. ia menemukan tanah yang diinginkannya dan mulai mencangkul di dekat sebuah batu besar.

Pemuda itu beristirahat dan duduk di samping batu besar. Dilihatnya batu itu berbentuk seperti seorang kakek tua.

Saat itu matahari mulai muncul setelah hujan berhenti. Pemuda itu berkata kepada batu besar, "Selamat siang, kakek batu. Tolong kau jaga mantel  hujanku yang berharga ini."

Sore itu, pemuda itu berhenti bekerja dan mulai berbicara dengan batu itu seolah-olah mereka sahabat lama.


"Andai aku sekuat dirimu, kek," katanya. "Aku pasti tak pernah merasa lelah."

Pemuda itu bekerja di sana tiap hari.

Pada suatu hari ia sedang beristirahat dan seperti biasa, berbicara kepada kakek batu tentang betapa ia merasa lelah dan kepanasan. 

Tiba-tiba, "Anak muda," batu besar itu berbicara kepadanya! "Dengarkan. Kau mengeluh lelah dan panas? Tiap hari kau meletakkan mantel hujanmu ini di kepalaku. Mantel itu membuatku kepanasan dan gatal-gatal. Belum lagi terasa berat sekali di kepalaku."

"Ambillah mantelmu dan aku akan memberimu hadiah."

"Maaf, kek," kata pemuda itu sambil memindahkan mantel hujannya dari atas batu.

"Kek." kata pemuda itu setelah beberapa saat, "Tadi kau mengatakan akan memberiku hadiah?"

"Aku memang berkata begitu," kata batu. "Besok datanglah kemari membawa karung yang panjangnya tiga kaki.

Esoknya pemuda itu membawa karung sepanjang tiga kaki.

"Buka karung itu," kata batu.

Pemuda itu membuka mulut karung. Batu itu membuka mulutnya dan keluarlah ratusan koin perak berkilauan, masuk ke dalam karung. Tak lama, karung itu penuh.

"Bagaimana?" kata batu besar. "Cukup?"

"Oooh, banyak sekali, kek," kata pemuda itu senang. "Bahkan terlalu banyak untukku. Terima kasih, kek."

"Terlalu banyak?" kakek batu tertawa. "Tak banyak orang yang mengatakan terlalu banyak."

"Pergilah, bawa uang itu. Belilah rumah untuk dirimu. Kau pekerja keras, kau berhak mendapatkan uang itu."

Pemuda itu mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu berpamitan dan pergi. Ia kembali ke desanya. Tak lama kemudian kakaknya mendengar bahwa sang adik pulang sebagai orang kaya.

"Bagaimana kau bisa menjadi kaya raya, dik?" tanyanya.

Adiknya menceritakan semuanya.

"Di mana batu itu?" tanya sang kakak lagi.

"Kalau kau terus mengikuti jalan ini menuju pegunungan, kau akan menemukan sebidang tanah kosong yang luas. Batu itu ada di tengah tanah kosong itu."

"Kau pasti dapat menemukannya, kak."

Sang kakak segera mengambil mantel hujan dan cangkulnya sendiri. ia pergi mencari batu besar yang telah membuat adiknya kaya. Ia segera menemukan batu besar itu. ia meletakkan mantel hujannya di atas batu besar dan mulai mencangkul.

Setelah mencangkul sepanjang hari, ia duduk di sebelah batu besar dan berbicara kepadanya. "Apa kabar, kakek batu," katanya. "Apakah hari ini cukup hangat untukmu?"

Tidak ada jawaban.

"Hai, kau dengar tidak, batu?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban.

Sepanjang siang sang kakak mengajak batu  besar itu berbicara, tapi batu itu diam saja.

"Aku dapat memaksamu bicara, batu tua!" katanya dalam hati.

Ia meletakkan batu-batu kecil di atas batu besar itu. Makin lama makin banyak batu yang ditumpuknya  sampai batu besar itu tidak kelihatan. 

"Singkirkan batu-batu ini," teriak kakek batu. "Aku akan memberimu hadiah."

Petani itu segera memindahkan batu-batu kecil dari batu besar.

"Datanglah besok, bawa karung sepanjang tiga kaki." kata batu besar. "Aku akan mengisinya dengan uang perak."

Matahari baru terbit ketika sang kakak datang membawa karung esok harinya.

"Baiklah," kata batu besar. "Buka karungmu."

Batu itu membuka mulut dan mengeluarkan uang perak sampai karung hampir penuh.

"Bagaimana?" tanya batu besar. "Sudah cukup, bukan?"

"Tidak," kata laki-laki serakah itu. "Tambahkan lagi."

"Baiklah." kata batu itu. Uang logam keluar lebih banyak lagi sampai karung hampir robek.

"Sudah cukup, sekarang?"

"Lagi! Tambahkan lagi!" kata sang kakak.

" Maaf, anak muda." kata batu itu. "Aku sudah tak punya uang lagi," 

Sang kakak berteriak, "Pasti masih ada uang lagi." Ia memasukkan kedua tangannya ke mulut batu, untuk mengambil uang lagi.

Mulut batu itu menutup dan tangan petani terjepit, tidak dapat dikeluarkan dari batu. 

"Batu tua, lepaskan tanganku!" Ia melompat-lompat, menendang, menarik tangannya. Batu itu tetap diam saja, tak bergerak sedikitpun.

"Kumohon, lepaskan tanganku!" Batu itu tetap diam saja. 

Malam tiba. Hujan lebat turun sampai tempat itu digenangi air. Karung berisi uang perak hanyut terbawa banjir. 

Pada hari yang ketiga, isteri petani itu datang mencarinya. Ia menangis melihat tangan suaminya terjebak di dalam batu. 

"Jangan hanya menangis." kata suaminya. "Lepaskan aku dari batu ini."

Tapi apa pn yang dilakukan sang isteri, tidak dapat melepaskannya. Sejak saat itu, tiap hari sang isteri datang membawakan makanan dan menyuapinya.

Petani itu terjebak selama tiga tahun. Tiap hari ia kepanasan dan kedinginan pada malam hari. Ia juga sering basah kuyup diguyur hujan. 

Kemudian, pada suatu hari, isterinya datang untuk mengantarkan makanan. Lelaki itu mengoceh. "Tiga tahun sudah aku berdiri di sini, kehujanan dan kepanasan. Aku sudah tak tahan lagi. Aku akan memotong tanganku saja."

Tiba-tiba batu besar itu bergetar. dan mulai tertawa. Kemudian mulutnya terbuka lebar dan ia tertawa terbahak-bahak.

Petani serakah itu terjatuh ke tanah. Ia bebas sekarang. Cepat-cepat diajaknya sang isteri pergi dari tempat itu dan  tidak pernah kembali lagi.

0 komentar:

Posting Komentar