Rabu, 23 Mei 2012

Nagasasra dan Sabuk Inten 013-014

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
013

WAJAH Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya. Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu.

Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”

Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.

Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga.

Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.

Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.

Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.

He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.

Kalian tak berbuat apa-apa?

Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.

Kami telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah mereka lukai
dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.” jawab orang itu. Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil.

Diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai anak panah.

Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.

Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki AsemGede.

Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia mendengar percakapan Ki Asem Gede dengan keempat orang berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika secepat itu Ki Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada kesulitan dengan menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya, sehingga ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.

Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di malam yang gelap dengan meninggalkan debu putih yang
berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak. Jalannya begitu sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede sama sekali tak menghiraukan. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan orang-orang ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai kesaktian, menjadi takabur dan berbuat sewenang-wenang.

Kejahatan-kejahatan seringkali mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat adalah
pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede.

Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat sekali karena marahnya. Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus bertempur. Ia merasa sudah masanya menyepi dan mempergunakan sisa hidupnya untuk diabadikan pada perikemanusiaan.

Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa menggebraknya.

Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat
mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin lama makin dekat.

Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya. Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.

Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada putrinya.

Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah.

Hampir fajar,” dengus Mahesa Jenar seorang diri. Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya.

Tetapi ketika diingatnya orang tua yang di depannya itu semakin melarikan kudanya, ia pun segera mengesampingkan keindahan fajar. Sekali ia sentakkan kakinya, kudanya berlari semakin cepat seperti terbang.

Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan sebentar kemudian menyusup masuk ke sebuah desa.



NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
014

ITULAH Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak. Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat lagi.

Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan kudanya. Ketika sampai di muka sebuah rumah yang berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki halaman. Kuda yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa rumah itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede menarik kendali dan berhenti di muka pendapa.

Pendapa itu ternyata tertutup dinding di empat sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan lampu di dalamnya hanya menyala remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya. Sebentar ia tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau putrinya berada di tempat itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya tak dapat dirintangi kemauannya, bernama Samparan.

Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras. Sekali, dua kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede tak sabar lagi. Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul daun pintu itu sekuat tenaga, hingga berderak-derak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga terbuka lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah olehnya lima orang sedang duduk di atas sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi bermacam-macam makanan dan minuman keras.

Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki Asem Gede semakin marah.

Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu tampak garang dan sama sekali berobah dari sifat keramah-tamahannya.

Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.

Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.

Direndahkan demikian, Ki Asem Gede semakin marah. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah
dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut.

Mereka cepat-cepat meloncat menjauh, dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya.

Sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak.

Bagus ..., bagus .... Alangkah hebatnya,” kata Samparan.

Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak.

”Aku datang untuk mengambil anakku.”

Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.

”Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”

”Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.

”Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”

Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah. Kembali Samparan tertawa.

Sudah seharusnya kau tidak percaya, sebab kau ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul
keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.” sambung Samparan.

Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik kenyataan.

Samparan...” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil. ”Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”

Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, ”Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas
persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”

Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir meledak.

Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.

Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa iblisnya.

Betul..., betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.

Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak akan mampu melawan kelima orang itu.

Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, ”untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah
peraturan ini?”

Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis keluar dari mulut Samparan.

Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan umum.”

”Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan
demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?”

READ MORE - Nagasasra dan Sabuk Inten 013-014

Minggu, 06 Mei 2012

Hikayat Malin Kundang



Dahulu kala di Sumatera Barat hidup seorang ibu dan anak lelakinya. Anak itu cerdas dan rajin membantu ibunya. Namanya Malin Kundang.
Ketika beranjak dewasa, Malin sering sedih melihat ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi mereka berdua. Ia memutuskan pergi merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ibunya semula tidak mengijinkan, karena ayah Malin dulu juga pergi merantau dan tidak pernah kembali. Malin berkeras sehingga ibunya terpaksa mengijinkan.

Malin menumpang sebuah kapal dagang. Ia belajar berlayar dari para pelaut di kapal itu. Namun, pada suatu hari kapal itu dirampok oleh bajak laut. Tidak hanya barang-barang dalam kapal itu dirampas, sebagian awak kapal bahkan dibunuh. Malin selamat karena bersembunyi di antara balok-balok kayu dalam kapal. Kapal itu ditinggalkan dan terapung-apung hingga terdampar di pantai.

Malin Kundang kemudian berjalan ke sebuah desa di dekat pantai. Ia mulai bekerja keras hingga menjadi kaya raya. Ia memiliki beberapa kapal dagang besar. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis penduduk desa itu.

Berita bahwa Malin Kundang sudah menjadi orang kaya dan berhasil terdengar sampai ke telinga ibunya. Tiap hari ia mengunjungi pelabuhan, berharap anaknya pulang.  Pada suatu hari ibu tua itu melihat sebuah kapal besar di pelabuhan. Di atas kapal dilihatnya sepasang suami isteri.

Walaupun sudah bertahun-tahun ia tidak melihat Malin, ibunya yakin bahwa pria itu adalah anaknya. Ia mendekati Malin dan makin yakin melihat bekas luka di lengan orang itu, yang sama persis dengan luka anaknya.
Ibu Malin bergegas menghampiri dan memeluknya.

“Malin, anakku,” katanya terharu, “Mengapa kau tidak pernah mengirim kabar kepada Ibu?”
Malin tahu bahwa wanita tua itu adalah ibunya, namun ia malu kepada isterinya dan anak buahnya.
Malin mendorong ibunya menjauh sambil berkata, “Saya bukan anak ibu.”

Ia menggandeng isterinya yang keheranan dan mengajaknya pergi.Ibu Malin mengikuti mereka sambil terus memanggil, “Malin anakku, ini ibu.... Ibu rindu padamu, nak.”

Malin hanya memalingkan wajahnya sedikit kepada ibunya.

“Ibu salah orang,” katanya cepat-cepat. “Saya bukan anak ibu. Ibu saya sudah lama meninggal.”

Ia pun bergegas pergi bersama isterinya.

Ibu Malin menangis sedih.

“Kalau benar kau anakku,” katanya, “dan kau tak mau mengakui aku ibumu, biarlah kau menjadi batu!”

Pertemuan dengan ibunya membuat Malin gelisah. Ia ingin cepat-cepat melanjutkan perjalanan dan meninggalkan kota  itu, takut bertemu dengan ibunya lagi. Ia menyuruh anak buahnya segera menyiapkan kapalnya untuk segera berlayar.

Malam itu laut sangat tenang. Malin lega karena dapat segera pergi. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat sauh dan berangkat.

Namun, tak lama setelah kapal berlayar, langit berubah mendung, angin bertiup kencang dan ombak sangat tinggi. Badai yang ganas menyerang kapal Malin.  Kapalnya hancur dan ia mati tenggelam. Tubuh Malin terbawa ombak hingga ke pantai dan perlahan-lahan mengeras menjadi batu.

Hingga sekarang batu Malin Kundang masih ada di Pantai Air Manis di selatan kota Padang. Di sekelingnya ada bekas-bekas kapal termasuk tali-tali dan tong-tong air yang semuanya menjadi batu.
READ MORE - Hikayat Malin Kundang

Sabtu, 05 Mei 2012

Kisah Orang Buta Melihat Gajah



Dahulu kala hiduplah enam orang buta. Mereka sering mendengar tentang gajah. Namun karena mereka semua belum pernah melihatnya, mereka ingin sekali tahu seperti apa gajah itu. Maka mereka beramai-ramai pergi melihat gajah.

Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”

Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”

Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”

Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”

Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”

Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya. Gajah mirip dengan tali.”

Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah. Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri.


READ MORE - Kisah Orang Buta Melihat Gajah

Kotak Pandora





Dahulu kala, Zeus, raja para dewa, menyuruh Hephaestus membuatkannya seorang puteri.  Hephaestus menciptakan seorang wanita dari tanah liat. Wanita itu cantik rupawan dan diberi nama Pandora. 

Zeus mengirim Pandora turun ke bumi dan menikahkannya dengan Epimetheus. Zeus melakukan semua ini untuk membalas dendam kepada Prometheus, saudara Epimetheus. Prometheus telah memberikan api kepada manusia tanpa izin Zeus.

Zeus memberikan sebuah kotak yang dikunci kepada Pandora dan menyuruhnya berjanji, tidak akan membuka kotak itu. Ia juga memberikan kunci kotak itu kepada Epimetheus dengan pesan yang sama. Zeus yakin bahwa Epimetheus dan Prometheus tidak akan membuka kotak itu.

Pandora penasaran, ia ingin tahu apa yang ada di dalam kotak yang terkunci rapat itu. Ia meminta kunci kepada suaminya, namun Epimetheus tidak mau memberikannya.

“Kau tahu bagaimana sifat Zeus ayahmu,” kata Epimetheus.

“Aku hanya ingin melihat isinya, aku hanya akan mengintip sebentar saja,” bujuk Pandora.

“Jangan. Aku takut ayahmu menaruh benda yang akan mencelakakan kita dalam kotak itu.”

Pandora terdiam. Namun rasa ingin tahunya tidak dapat dibendung.  Ketika Epimetheus sedang tidur lelap, Pandora mengambil kunci dan membuka kotak itu.

Dari dalam kotak keluarlah segala macam penyakit, kebencian, iri hati, kejahatan dan semua hal buruk yang belum pernah dialami manusia. Pandora cepat-cepat menutup kotak itu kembali. Namun terlambat, semua hal buruk itu telah terbang ke seluruh dunia.

Epimetheus terbangun oleh suara tangisan Pandora. Tersedu-sedu  Pandora menceritakan apa yang telah terjadi.

“Aku tidak dapat menangkap mereka,” isaknya. “Lihatlah kotak ini sekarang kosong.”

Pandora membuka kotak dan menunjukkannya kepada suaminya. Seekor kumbang kecil terbang keluar sebelum Pandora dapat menutup kotak itu kembali.

Kumbang kecil itu terbang mengelilingi Pandora.

“Pandora, aku Harapan,” kata kumbang itu, “Aku berterima kasih kepadamu karena membebaskanku.” Ia lalu terbang pergi.

Di dunia sekarang ada Iri hati, Kejahatan, Kebencian dan Penyakit, namun bersama mereka juga ada Harapan.







Gambar diadaptasi dari http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSJnM4Nkwn_6xAyLue6-TVFiZKx05gq1K8dY0-EOOuoFCW_ICqxEbEadxQBQw
READ MORE - Kotak Pandora