Minggu, 11 Maret 2012

Kisah Putri Dan Pangeran Kodok

dongeng sebelum tidur
Hai sobat-sobat semua kembali admin dongeng sebelum tidur akan menceritakan sebuah dongeng kali ini mengenai sebuah kisah putri dan pangeran kodok seperti biasa dalam cerita ini sedikit di modifikasi ala admin agar tidak membosankan dan bisa sedikit menghibur sobat-sobat semua.

Disebuah kerajaan hiduplah seorang raja yang sangat bijak dan raja tersebut memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita, melong-melong, kimplah-kimplah berkulit putih bersih dan mulus ibaratnya jika sang putri minum kopi maka warna hitam kopi itu akan terlihat ngalir dari tenggorokanya yang putih itu . Di dekat istana terdapat sebuah pohon yang sangat besar dan berdaun rimbun dan di dekat pohon itu ada sebuah sumur yang berair jernih ketika cuaca sedang panas putri raja sering duduk di bawah pohon di tepi sumur yang dingin sambil memainkan bola yang terbuat dari emas yang di lemparkanya keatas dan di tangkapnya kembali sebagai hiburan untuk melewatkan waktu yang terasa panjang dan membosankan.

Suatu ketika saat sang putri sedang asyik bermain dengan bola emas kesanganya itu saat sang putri melemparkan bola itu keatas saat ia bersiap untuk menangkap bola emas itu tiba-tiba kakinya terpeleset dan terjatuh (sreeeeet gubrak )  dan bola itu jatuh tepat mengenai jidat sang putri (bletaaaak terdengar suara benda keras yang membentur sesuatu)  seketika itu juga bola menggelinding jatuh masuk kedalam sumur yang cukup dalam.

Sang putri bangun sambil memegangi jidatnya yang sedikit biru karena kejatuhan bola emas dan berjalan sempoyongan menuju bibir sumur.
"Aduuuuuuh siapa si yang habis buang hajat di sini"

Sang putri hanya bisa memandangi bola emasnya yang sudah berada di dalam sumur tanpa bisa berbuat apa - apa sang putripun sedih dan mulai menagis dan terus menagis karena tanpa bola emas kesayanganya itu tidak ada lagi yang bisa menghiburnya lagi.

Di tengah tangisanya itu tiba-tiba ia mendengar suara yang berkata kepadanya.
"Apa yang membuat kamu begitu sedih, Putri?
Sang putri pun celingukan mencari dari mana sura itu berasal tetapi tidak seorangpun yang terlihat dan hanya seekor kodok beruk (kodok beruk merupakan kodok yang berwarna kecoklatan dan kalo anda terkena air kencingnya maka kulit anda akan tersa sangat gatal) yang melompat keluar dari air.

"Weiiiiiiiit jabang bayi kamukah yang berbicara tadi?" kata sang putri,

"Betul putri hambalah yang berbicara" jawab sang kodok (sang kodok eh eh eh sang kodok)


"Aku menangis karena bola emasku 24 karat 20 gram jatuh kedalam sumur mana emas sekarang lagi mahal lagi dok"

"We ke ke ke perrrrrrrefeeeek tenang jangan kuatir dan jangan menagis sang putri," jawab sang kodok, "Aku bisa menolongmu everiting is oke,

"Benarkah itu?" jawab sang putri,

"Tetapi apa yang bisa kamu berikan kepadaku jika aku bisa mengambil bola emas itu?"

"Wah...... ahkir jaman kodok aja matre nih" kata hati sang putri, " baiklah apapun yang kamu mau akan aku berikan pakaian, emas permata dan perhiasan atau kamu mau mahkota emas yang aku pakai ini sok atuh ambil maneh teh matre pisan eiii"

"Eaaalaaah aku ga butuh itu sang putri pakain, emas permata apalagi mahkota emasmu (habis ga bisa makainya sih)." jawab sang kodok; "Bila saja kamu menyukaiku, dan menganggap aku sebagai teman bermain, dan membiarkan aku duduk di mejamu, dan makan di piringmu, dan minum dari gelasmu, dan tidur di ranjangmu, kalau kamu mau berjanji akan melakukan semua ini, aku akan menyelam ke bawah sumur dan mengambilkan bola emas itu buat kamu"

"Oke lah kalo begitu," jawab sang putri; "aku berjanji akan melkukan semua yang kamu mau jika kamu bisa mengambilkan bola emasku tetapi ingat No Sex"

"Sex gimana caranya kali" kata sang kodok dalam hati.

Tetapi putri raja berkata dalam hati, " Dasar kodok beruk mana bisa kamu mengambil bolaku badan kamu saja sama bola emasku gedean bola emasku dasar belagu seolah-olah kamu ini bisa melakukan apa yang dimintanya selain berkoak-koak dengan kodok lain, bagai mana bisa dia menjadi pendampingku"

Setelah mendengar sang putri mengucapkan janjinya ia pun langsung terjun kedalam air dan menyelam, setelah beberapa saat dia kkembali kepermukaan dengan bola emas dan melemparkanya ke atas rumput.

Putri rajapun menjadi senang karena mendapatkan bola emasnya kembali dia mengambilnya dengan cepat dan langsung berlari menjauh swiiiiiiiiiiiiiiiiiiing 

"Sang putriiiiii berhentiiiiii ko aku ditinggal" teriak sang kodok; bawa aku pergi juga, aku tidak dapat berlari secepat kamu!"
akan tetapi teriakan sang kodok tidak di hiraukan oleh sang putri.

"Waduh di apusi dasar slekethep" gumam sang kodok. Sang kodokpun kemabli masuk kedalam sumur.

Keesokan harinya, ketika sang putri sedang duduk di meja makan dan makan bersama Raja dan mentri-mentrinya di piring emasnya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan sebuah suara "Tuan putri biarkan saya masuk !"

Sang Putri kemudian berjalan ke pintu dan membuka pintu tersebut tetapi ketika melihat seekor kodok yang duduk diluar Sang Putri pun kaget dan "Jabang bayi" ucap Sang Putri ia pun dengan cepat menutup kembali pintu tersebut ( gabruuuuuuuk ) dan buru-buru ia duduk kemabli di kursinya dengan perasaan gelisah.

Raja yang menyadari perubahan tingkah laku putrinya itu bertanya,
"Ada apa putriku sepertinya ada yang membuatmu gelisah dan takut? apakah kamu habis melihat hantu di luar tadi?"

"Tidak ayah handa" jawabnya, " tidak ada hantu, hanya seekor kodok jelek"
"Lho sama kodok aja ko takut memangnya ada apa dengan kodok itu?" tanya sang Raja
"Nganu ayah handa," ......... Sang Putri pun menjelaskan kepada sang Raja peristiwa yang terjadi antara dirinya dan kodok.

Setelah mendengarkan cerita dari putrinya Raja pun berkata,
"Anaku janji adalah janji dan kamu harus menepatinya"

Kembali terdengar ketukan dari arah pintu dan suara sang kodok,
"Tuan Putri, tolong bukakan pintu !" kali ini suara sang kodok terdengar sedih dan berat.
"Ga maooooooo" jawab sang Putri.
"Tolonglah Putri cepat buka pintu ini aku sudah tidak kuat lagi kakiku kejepit pintuuuuuu"
"Apa yang pernah kamu janjikan harus kamu penuhi,"kata sang Raja," sekarang biarkan dia masuk."
Ketika dia membuka pintu, kodok tersebut langsung melompat masuk dan terus mengikutinya hingga sang putri duduk kembali di kursinya. Kemudian dia berhenti dan memohon," Angkatlah saya agar saya bisa duduk dengan dirimu"

Tetapi sang putri tidak memperdulikanya sampai sang Raja sendiri yang memerintahkanya. Ketika sang kodok sudah duduk di kursi, dia meminta agar dia dinaikan di atas meja, dan dia berkata lagi,
"Bisakah kamu menarik piring makanmu llebih dekat, agar kita bisa makan bersama"
Sang putri pun terpaksa melakukan apa yang di minta oleh kodok itu,
"Hoooooooaaaaaak" terdengar suara sendawa sang kodok menandakan kalau sang kodok sudah kenyang.
"Saya sudah cukup kenyang dan saya merasa lelah dan mengantuk kamu harus membawa saya ke kamarmu, saya akan tidur di ranjangmu."

Sang Putri pun manangis saat membayangkan kodok yang jelek dan kotor itu tidur di tempat tidurnya yang bersih. Melihat keadaan itu sang Raja dengan nadah mara berkata pada putrinya,
"Wis ra sah nangis kamu itu adalah putri Raja dan apa yang kamu janjikan harus kamu penuhi kalau tidak apa kata duniaaaaa"

Dengan sangat terpaksa sang putri mengangkat sang kodok dengan tanganya lalu membawanya menuju ke kamar tetapi samapai di kamar kodok itu di letakanya di sudut kamar,
"Lho ko disini" kata sang kodok," aku ingin tidur di ranjangmu, angkatlah saya atau aku akan mengadukanmu kepada Raja"

Mendengar kata-kata sang kodok itu sang putri menjadi marah lalu mengangkat kodok tersebut keatas dan melemparkanya kediding sambil menangis.
"Diaaaaaaam kamu kodok jelek slekethep!"
( buuuuuuuk kwoooook ) terdengar suara badan kodok menghantam diding.

Tetapi tiba-tiba ketika kodok itu jatuh kelantai kodok itu berubah menjadi seorang pangeran yang sangat tampan.
"Oh my good" teriak sang putri,"siapa sebenarnya dirimu"
pangeranpun menceritakan kejadian yang di alaminya dia dikutuk oleh seorang penyihir menjadi seekor kodok dan tidak ada yang bisa melepas kutukan itu kecuali sang putri yang di takdirkan uuntuk bersama-sama memerintah kerajaanya. Akhirnya dengan persetujuan Raja, mereka berdua di nikahkan, sang putri dan pangeranpun hidup bahagia.
READ MORE - Kisah Putri Dan Pangeran Kodok

Sabtu, 10 Maret 2012

Nagasasra dan Sabuk Inten 011-012

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya; SH Mintarja
011

DIAM-DIAM Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan
hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu.

Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar.

Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.

Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.”

Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan,

Kepandaian yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana Adi Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang, penduduk kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.”

Dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem Gede, rupa-rupanya semangat mereka bangkit kembali. Dan
sebentar kemudian, setelah segala siasat ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan panah, supit dan bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasilah siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya kami balut dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka suami isteri itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi.

Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka
yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang
sangat sehingga akhirnya ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.

Kembali Ki Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa Jenar meresapi kata-katanya.

Bagi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis didaerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi meskipun demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.

Kemudian sesudah itu...” Ki Asem Gede melanjutkan lagi, “di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya.

Meskipun demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka atau kalau
mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.”

Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu tarikan nafas penjelasan.

Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai kepercayaan sesat.

Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.

Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran
masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu.



NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
012

DI bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali. Beberapa orang
perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.

Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mula-mula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam.

Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar? Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.” kata Ki Asem Gede kepada Demang Pananggalan.

Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik bahannya maupun bunyinya. Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman,

“Siapa yang di luar?”

“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.

Sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke pendapa.

“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut.

“Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.

“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya sebagai seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh.

“Lebih dari itu..., aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?”
sahut Ki Asem Gede.

Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga Mahesa Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede adalah
seorang penggemar uyon-uyon.

“Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis,” kata Demang Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke
halaman.

Baik Bapak Demang,” jawabnya, sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik dan
meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di halaman.

Tetapi yang paling gembira dengan usul ini,” sambung Ki Asem Gede, “adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa lama tidak mendengar suara gamelan.”

Kembali terdengar mereka tertawa riuh.

Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai
Demang satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang berpadu dengan suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati pendengarnya.

Di halaman, satu demi satu orang berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah ini. Tetapi belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi keributan.

Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu ketenteraman desa mereka.

Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.

Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,” perintah Demang Pananggalan dengan suara nyaring.

Sedangkan semua laki-laki di halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk mendapatkan senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah yang datang, tetapi keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut Demang.

Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut. Tetapi meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar juga
mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang datang beberapa waktu yang lalu.

Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput, kapak pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri. Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang untuk mengambil tombak,
pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan mereka.

Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.

Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman Kademangan.

Ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para penunggangnya berloncatan turun. Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya lampu.

READ MORE - Nagasasra dan Sabuk Inten 011-012

Kamis, 01 Maret 2012

Kemarua Panjang

dunia mono

Sudah berbulan-bulan lamanya musim kemarau panjang datang. sementara itu hujan belum menampakan tanda-tanda akan turun. Siapapun pasti akan tersiksa. terutama warga rawa. Lompatan Kodi Kodok jadi tak selincah biasanya. Cica si Cacing juga setengah mati menggali tanah. semua lesu, dan yang nampak paoing tersiksa adalah Bidi si Badak! karena kulitnya yang tebal harus direndam didalam air agar suhu tubuhnya tidak kepanasan.

Meskipun begitu, mereka tidak ada yang mengeluh. Karena semua sama-sama memahami, yang lain pasti sama tersiksanya. Sebagai pimpinan di rawa, Bidi Badak mengkhawatirkan nasib teman-temanya. Makanya, Bidi Badak mulai gelisah mencari kolam baru. Tanpa sepengetahuan warga rawa lain, ia mennyusuri piinggiran hutan yang jauh dari rawa.

"Hai, kalian tahu dimana Bidi? Hari ini jadwalku makan kutu sekaligus membersihkan kuulitnya." Tanya gelatik kepada Cica Cacing dan Kodi Kodok yang kebetulan tinggal tidak jauh dari kolam Bidi.

"Kwookkk! Aku tidak tahu," Jawab Kodi Kodok. "Dari subuh Bidi sudah tidak ada di kolam"

"Hah? Dari subuh? Kira kira kemana ya?"

"Entahlah, tapi kalo di perhatikan, Belakangan ini di nampak gelisah." Jawab Cica Cacing. "Mungkin karen air rawa mulai menyusut. Sampai setengah lututnya Bidipun pun tidak!"

"Wah jangan-jangan dia mencari rawa baru dan meninggalkan kita!"

"Ishhh.. Bidi itu pemimpin yang bertanggung jawab, tahu! Dia tidak mungkin meninggalkan kita begitu saja."

"Bidiiiii!!!! Kamu dimana sih?" Semua warga rawa mulai sibuk mencarinya.

Menjelang malam Bidi baru nampak lagi di kolamnya. Langsung saja seluruh teman-temanya menanyakan.

"Maaf sudah membuat kalian semua kawatir, tadi aku mencari rawa yang lebih banyak airnya," jawab Bidi.

"Kwookkk..kamu ga akan meninggalkan kamin ketempat barukan, Bidi?" Tnya Kodo Kodok kawatir.

"Tidak Kok, justru aku akan mencari rawa yang banyak airnya uuntuk kita semua. Tapi rasanya, tidak ada rawa yang lebih nyaman dari tempat  kita.

"Cippp..Cippp..betul itu! Duh, kami kira kamu akan meninggalkan kami..."

"Ya ampun, aku tuh justru mengkhawatirkan kalian! Sudah lama rasanya aku tidak mmelihat Kodi melompat dan berenang riang, Cica Cacing juga tampak kepayahan menggali tanah. Ya kan ?"

"Ah, kau baik sekali sudah memikirkan kami. Tapi, kami juga yakin kulitmu juga butuh air, kan?' tanya temanya yang lain.

Bidi hanya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi gendutnya.

"Kemarau kali ini memang parah banget, kawan-kawan.." Tiba-tiba Gala Gajah muncul dari balik semak-semak. "Harusnya pertengahan bulan ini hujan sudah turun"

"Eh, bagai mana kalo kita tambah saja air rawa ini?" Usul Bidi spontan. "Tadi sewaktu jalan-jalan, aku sempat melewati air sungai di kaki bukit. Di sana, air masih mengalir meskipun tidak sederas biasanya."

"Boleh juga idemu! Tapi, bagaimana cara membawa airnya, ya?" Caca Cacing membayangkan jaraknya. "Eh, Gala ... belalaimukan panjang tuh. Bisa menyimpan air.

"Waduh, tapi kalau hanya Gala yang bawa air, kapan penuhnya?" ujar Kodi Kodok.

"Ya nggak dong! Kita kan mesti gotong royong!" kata Cica Cacing lagi.

"Tapi, badanku kecil, mana bisa bawa air banyak-banyak?" tanya Kodi lagi.

"Kita kerumah pak Beyu saja! Berang-berang yang tukang kayu itu!. Dia kan suka menyimpan perkakas bekas! Siapa tahu dia punya panci, ember, atau apapun yang bisa menyimpan air." pekik Joli Gelatik tiba-tiba. Teman-temanyapun setuju.

Dari rumah Pak Beyu, mereka di bekali beberapa panci bekas yang sudah di tambal, dan ember yang cukup besar untuk menampung air. Wah, Pak Beyu memeng pintar memperbaiki peralatan.

Rombongan warga rawa punn berbondong-bondong menuju kesungai di kaki bukit. Joli dan beberapa temanya menciduki air ke ember dengan dedaunan. perlahan tapi pasti, ember dan panci mulai penuh air. Gala menyedot air sebanyak  mungki, kemmudian dia memikul panci yang di penuhi dengan air. Ember di punggung Bidi perlahan mulai penuh. Beberapa kali mereka bersama-sama bolak-balik mengangkut air antara sungai dan rawa hingga air cukup untuk beberapa waktu kedepan.

Setelah seharian penuh mengisi rawa, Bidi dan teman-temanya beristirahat dan menikmati hasil kerja sama mereka. Kodi melampat dan berenang sangat riang. Cica mulai menggali tanah dengan lebih mudah. Bidi berendam dengan santai sementara Joli bisa berkicau dengan riang karena bisa memakan kutu dikulit Bidi denagan tenang.

Semuanta bersuka cita, masalah air rawa bisa di tangani bersama dan kemarau bisa di lalui warga rawa dengan ceria.
READ MORE - Kemarua Panjang