Rabu, 16 Oktober 2013

Si Janggut Biru ( Charles Perrault )


          Dahulu kala seorang lelaki kaya, diberi julukan ‘Janggut Biru’ tinggal di istana besar di tengah hutan. Suatu hari ia berkunjung ke keluarga yang mempunyai tiga gadis remaja. Menyaksikan kedatangannya, ketiga gadis muda itu sangat ketakutan oleh warna janggutnya yang biru, sehingga mereka bersembunyi ketika dipanggil. Untuk meyakinkan niat baiknya, maka ia mengundang mereka jalan-jalan ke hutan. Ia datang mengendarai kereta kencana yang indah. Mereka semua, termasuk ibu ketiga putri itu bersedia diajak naik kereta dan menikmati keindahan hutan. Mereka sungguh mengalami tamasya yang menyenangkan. Si Janggut Biru memperlakukan mereka dengan baik. Para gadis muda itu lalu berpikir, “Ah barangkali laki-laki ini tidaklah seburuk yang kuduga.”

            Mereka pulang ke rumah dengan rasa puas. Namun kedua gadis yang terbesar kembali merasakan rasa takut dan curiga dan mereka bersumpah tidak akan mau menemui si Janggut Biru lagi. Sedangkan si Bungsu berpikir, “Kalau laki-laki itu bisa begitu ramah dan baik hati….barangkali ia bukan orang yang jahat.”
       Semakin lama ia memikirkan hal itu, semakin takutnya menghilang, dan semakin pudarlah warna biru janggutnya menurut penglihatan si Bungsu. Maka ketika lelaki berjanggut biru melamarnya, ia menerima. Ia membayangkan menikah dengan lelaki yang elegan. Mereka pun menikah. Segera sesudah upacara pernikahan usai, Si Bungsu diboyong ke istana, tempat kediaman Si Janggut Biru.

          Suatu hari si Janggut Biru berkata kepada isterinya. “Aku mau pergi agak lama, isteriku. Engkau boleh melakukan apa saja yang kau sukai, panggillah saudara-saudaramu, adakanlah perjamuan, dan bersenang-senanglah. Kupercayakan kepadamu kunci-kunci ini. Engkau boleh membuka semua ruang dalam istana ini, pintu mana saja; tapi ada satu kunci yang tak boleh kau gunakan, kunci kecil dengan ukiran di ujungnya, jangan kau gunakan sama sekali,” pesannya.

Si Bungsu menjawab, “Aku akan melakukan pesanmu, kedengarannya menyenangkan. Pergilah suamiku sayang, jangan khawatir dan cepatlah pulang.”

      Beberapa hari kemudian, kedua kakak perempuannya datang, penuh rasa ingin tahu, mereka menanyakan apa saja pesan sang suami yang mesti dikerjakan selama ia pergi. Si Bungsu dengan ceria mengatakan semua yang dipesan oleh suaminya. Lalu ketiga bersaudari itu sepakat melakukan suatu permainan, yakni mencocokkan kunci-kunci tersebut. Istana itu terdiri atas tiga tingkat, dengan ratusan kamar pada setiap sisi.

          Semangat mereka tak kunjung memudar melakukan permainan tersebut. Mereka lebih bersemangat lagi ketika mengetahui semakin tersembunyi ruangan tersebut semakin indah isinya. Akhirnya, mereka sampai di suatu ruang di bawah tanah. Di ujung koridor terdapat pintu, yang mendadak terbuka dan menutup kembali, dengan desis yang aneh. Mereka membukanya kembali, tetapi pintu itu terkunci. Salah seorang berteriak memanggil Si Bungsu, “Adik, kemarilah..bawa kuncinya….Pastilah pintu ini hanya bisa dibuka oleh kunci kecil yang misterius itu.”

        Tanpa berpikir panjang salah seorang di antara mereka memasukkan kunci pada pintu dan memutarnya. Pintu itu akhirnya dapat di buka, tetapi gelap sekali, sehingga sang kakak meminta si Bungsu untuk mengambil lilin. Dan saat cahaya temaram lilin menerangi kamar itu, samar-samar mereka melihat pemandangan mengerikan. Ruang itu penuh darah, bau kematian ada di mana-mana, ada tengkorak dan bagian-bagian tubuh lain.

        Mereka menjerit terkejut dan ketakutan. Dengan gemetaran mereka menutup pintu, menguncinya kembali dan menarik kunci dari pintu. Tetapi malang, ada darah menempel menodai kunci kecil terlarang. Si Bungsu dengan panik berusaha menghilangkan noda darah pada kunci kecil itu. Dicobanya segala alat dan cara, tetapi noda darah tidak menghilang. Disembunyikannya kunci itu di lemari pakaiannya.

         Beberapa hari kemudian, si Janggut Biru pulang dan sangat marah mengetahui bahwa ruang rahasia telah dibuka. Darah pada kunci tak mampu mengelabuinya. Kekejamannya segera muncul, tanpa rasa kasihan ia menarik isterinya ke ruang bawah, hendak membunuhnya di sana. Syukurlah sang putri cerdik, ia tak menyerah, begitu saja. “Suamiku, please, izinkan aku kembali ke kamarku untuk berdoa sebelum kematianku,” ujarnya. Si Janggut Biru berteriak,”Pergilah dan segera kembali!”

          Ternyata si Bungsu tidak berdoa, melainkan memanggil saudarinya minta bala bantuan. Bantuan tiba pada saat yang tepat, persis ketika Si Janggut Biru menyusul ke kamar. Di gang, bala bantuan saudara dan saudari si Bungsu menyambutnya dengan tebasan pedang.

Lelaki berjanggut biru akhirnya dapat dibunuh dan si Bungsu selamat.

0 komentar:

Posting Komentar