Jumat, 07 Juni 2013

Mencari Kebenaran - Bag.1

Dengan pemikiran saya yang sederhana, saya mencoba memahami pemikiran filsuf yunani zaman kuno, Aristoteles, tentang benar dan salah. Dalam pemahaman saya ia mengatakan kurang lebih begini :
Mengatakan sesuatu itu "begitu" sedangkan sebenarnya "bukan", atau sesuatu dikatakan "bukan" padahal adalah "begitu", adalah palsu. 
Mengatakan sesuatu "begitu" dan memang hal itu "begitu", dan hal yang "bukan" disebut "bukan", adalah benar.
Saya juga mencoba memahami Aquinas, pemikir abad pertengahan :  

Kebenaran menurut akal manusia (kebenaran berdasarkan logika/akal sehat) berdasar dari kebenaran yang terkandung dalam "sesuatu". Kebenaran adalah kesesuaian "sesuatu" dengan kecerdasan.
Tapi penjelasan paling cocok untuk saya tentang "kebenaran" adalah dari hal sederhana seperti ini :

1. KISAH TIGA ORANG BUTA
Tiga orang lelaki sudah tidak bisa melihat dari lahir. Suatu hari mereka pergi ke kebun binatang. Seekor gajah berdiri di depan mereka, lalu mereka diminta untuk menerangkan bagaimana binatang yang bernama "Gajah" itu. Lelaki pertama menjawab, "Gajah itu kecil, lentur dan panjang, memiliki rambut lebat seperti sapu ijuk." Lelaki kedua menjawab, "Salah! Gajah itu kokoh, kuat, dan bulat. Bentuknya seperti batang pohon yang besar." Lelaki ketiga menjawab, "Kalian berdua salah! Gajah itu lebar dan tipis, bentuknya seperti kipas."       
Lelaki pertama hanya meraba ekor gajah. Lelaki kedua hanya memeluk kaki gajah. Lelaki ketiga hanya mengelus telinga gajah. Dan akhirnya mereka punya tiga pendapat untuk benda yang sama. Terbatas oleh pengetahuan mereka, masing-masing meyakini "kebenaran" yang berbeda untuk sesuatu yang bernama "Gajah".
Karena keterbatasan masing-masing, tiga lelaki buta itu memahami gajah dengan berbeda-beda. Jika mereka mau dan bisa meluangkan waktu lebih lama untuk mempelajari gajah secara utuh dengan indera mereka yang normal, pendapat mereka kemungkinan tidak akan jauh berbeda. Mungkin akan ada perbedaan pendapat, tetapi tidak akan terlalu mencolok. 
Kebenaran yang mereka yakini tentang gajah terbatas pada "pengetahuan mereka tentang gajah". "Kebenaran" bukanlah "apa yang mereka katakan tentang gajah", akan tetapi "Kebenaran" yang sebenarnya adalah gajah itu sendiri.
2. BUMI ITU BULAT
Bumi tempat saya berpijak itu seharusnya datar. Langit di atas, bumi di bawah, dan saya di antara keduanya. Dengan tanpa ilmu, saya akan berpendapat sama seperti orang orang yang hidup di zaman abad pertengahan, 1000 tahun yang lalu, bahwa bumi itu datar. Selama ribuan tahun "kebenaran" itu diyakini sebagian besar manusia.
Sebuah penelitian baru-baru ini yang meneliti konsep abad pertengahan tentang "Bumi itu bulat" mencatat bahwa,"Sejak abad kedelapan, tidak ada satu ilmuwan pun yang patut dicatat yang mempertanyakan apakah Bumi itu bulat." Walaupun begitu, mungkin saja ada karya para ilmuwan tentang "Bumi itu bulat" tapi tidak mampu mempengaruhi pendapat masyarakat umum, dan sulit untuk mengatakan apakah masyarakat juga memikirkan bentuk Bumi, mungkin mereka bahkan tidak tahu pertanyaan semacam itu ada.
Kemudian pengalaman dari para penjelajah dunia barulah membuktikan bumi itu tidak datar.
Penjelajahan bangsa Portugis ke benua Afrika dan Asia, pelayaran Columbus ke Amerika (1492) dan Ferdinand Magellan berhasil mengelilingi bumi (1519-1521) memberikan bukti praktis kepada masyarakat dunia tentang bentuk bumi.
Dan akhirnya, manusia sudah pergi ke luar angkasa dan membawa pulang potret bumi yang berbentuk seperti sebuah kelereng bulat berwarna biru.
 
 
Untuk meyakini kebenaran bahwa "Bumi itu bulat", saya tidak (bisa) melayang ke luar angkasa dengan usaha sendiri untuk membuktikannya. Saya (pasti) tidak (lolos kualifikasi) menjadi astronaut yang diperbolehkan ikut menumpang pesawat ulang alik ke luar angkasa untuk diajak melihat langsung "bumi itu bulat". Saya tidak (repot-repot) mencari astronaut NASA yang pernah terbang ke angkasa untuk bertanya langsung, "Apa kamu benar-benar menyaksikan bumi itu bulat? Berani sumpah?" Yang saya lakukan untuk percaya bahwa bumi itu bulat hanyalah dengan percaya pada guru saya (yang saat itu paling pandai di kelas). Yang saya lakukan cuma duduk manis di ruang kelas dan mendengarkan guru saya ketika beliau bilang, "Bumi itu bulat, anak-anak!" 

3. BAJU BARU SANG RAJA
Kisah dongeng dari Hans Christian Andersen.
Zaman dahulu kala hiduplah seorang raja yang menyenangi pakaian indah. Ia menghabiskan banyak hartanya agar ia berpenampilan mewah. Kesenangannya adalah berkunjung ke tempat keramaian untuk memamerkan pakaian indahnya. Jika raja lain lebih sering bertahta di singgasananya, raja yang ini lebih sering ada di kamar riasnya.
Suatu hari dua orang penipu datang ke kota raja. Mereka mengaku sebagai penenun. Mereka lalu membual bahwa mereka tahu bagaimana caranya membuat pakaian dari kain yang keindahannya tak terbayangkan. Warna warni pakaian ini luar biasa indah, tapi bukan itu saja, yang paling ajaib adalah pakaian ini tak akan bisa dilihat oleh orang yang bodoh.
Sang raja segera terpikat dan ia pikir ia bisa menguji kepandaian anak buahnya. Hanya anak buahnya yang pintar saja yang bisa melihat pakaiannya nanti. Segera ia memerintahkan dua penipu itu untuk membuatkan pakaian itu untuknya. 
Mereka lalu mengurung diri di dalam kamar, berpura-pura memintal. Mereka meminta sutera paling bagus dan banyak sekali emas murni untuk bahan pakaian raja. Mereka memintal sangat rajin, bahkan hingga larut malam. Tapi sebenarnya mereka menyembunyikan emas dalam gulungan kain sutra lalu menyelundupkannya keluar kamar.
Sang raja ingin tahu hasil kerja dua penenun itu. Ia memerintahkan perdana menteri kepercayaannya yang terkenal bijaksana untuk memeriksa hasilnya. Perdana menteri segera datang ke ruang memintal. Ia terheran-heran melihat dua orang penenun itu sedang bekerja dengan rajin, menjalankan alat pintal dengan sibuknya, tapi ia tidak bisa melihat kain hasil pintalannya.
Dua penenun itu memintanya melihat lebih dekat. "Bagaimana kain hasil pintalan kami Tuan Perdana Menteri? Indah nian bukan?" Perdana menteri bingung harus menjawab apa, "Aku tidak melihat apa pun! Apa aku begitu bodoh sehingga tidak bisa melihat kain baginda raja?" begitu pikirnya. Ia lalu berpura-pura mengamati "kain" itu, lalu mengangguk-angguk, "Indah sekali! Warna warni dan pola anyaman benar-benar rumit menakjubkan!" seru perdana menteri. Ia terlalu malu jika harus bilang tidak bisa melihat kain itu, lagipula ia perdana menteri kerajaan yang tersohor bijaksana. Lalu ia pulang menghadap raja melaporkan bahwa hasilnya "begitu menakjubkan".
Para penipu itu lalu meminta lebih banyak sutra dan lebih banyak emas. Raja mengabulkannya dan memerintahkan beberapa anak buahnya yang lainnya untuk turut memeriksa hasilnya. Mereka kembali dengan jawaban yang sama seperti perdana menteri. Mereka terlalu malu dan takut dicap bodoh karena tidak bisa melihat kain baginda. Mereka bahkan menambahkan kehebatan kain itu sehingga baginda raja begitu ingin untuk memamerkannya dalam sebuah pawai kerajaan yang megah di jalanan kota raja. Tersebarlah kemasyhuran kain baginda raja dan para pembuatnya menjadi begitu terkenal, hingga raja menganugerahi mereka gelar bangsawan.
Sehari sebelum hari pawai, para penenun bekerja keras semalaman. Semua orang bisa melihat betapa sibuknya mereka. Dengan gunting besar mereka memotong-motong udara. Menisik-nisik dengan jarum yang benangnya tak kelihatan. Akhirnya hari pawai telah tiba. Dua penenun menghadap baginda raja membawa hasil karya mereka. Mematut-matut di depan cermin, mereka mendandani raja dengan pakaian itu. "Silahkan Baginda lepas pakaian, dan pakailah celana panjangnya, Baginda!" "Ini kemejanya." "Dan ini jubahnya." "Kainnya ringan seperti sarang laba-laba, Baginda seolah-olah tak memakainya, tapi inilah salah satu kehebatan kain ini Baginda!" "Lihatlah keindahan warnanya!" "Pola pola yang begitu rumit dan mencengangkan!" "Benar-benar pakaian yang hanya pantas dipakai Baginda Raja!" Para pengawal raja mengangguk-angguk setuju.
Raja kemudian berjalan keliling kota dinaungi payung kerajaan. Para pelayan turut di belakang raja, tangan mereka terulur memegang udara kosong. Tentu saja mereka sedang berpura-pura memegang jubah baginda raja, karena mereka tidak bisa melihat kain ajaib itu. Seluruh rakyat menyaksikan iring iringan raja, mereka berdiri di pinggir jalan dan melambai lambai dari atas jendela. Mereka berseru, "Ya Tuhan! Betapa indahnya pakaian Baginda Raja! Tak ada bandingannya! Benar-benar cocok untuk Baginda!"
Andersen, Hans Christian. Hans Andersen's Fairy Tales. W. Heath Robinson, illustrator. London: Constable & Co., 1913.
 Semua berseru dengan kekaguman, kecuali seorang anak kecil. "...Tapi dia telanjang!" serunya dengan lantang. Bapak anak itu tertegun mendengarnya, lalu berbisik kepada tetangganya. Tetangganya berbisik pada tetangga yang lain. Akhirnya semua orang berbisik, "Baginda tidak pakai apa-apa!"  
Raja menggigil walaupun tidak kedinginan, ia tahu orang orang berkata benar. Tapi ia melangkah dengan lebih gagah lagi dan para pelayan tetap mengiringi sambil tetap memegang jubah bohong baginda. "Pawai harus dilanjutkan!" pikirnya.
KEBENARAN      
 Jadi apa yang saya pahami tentang "kebenaran"?
  • Keyakinan kita tentang "kebenaran" sesuatu belum tentu benar. "Kebenaran" versi kita terbatas oleh pengetahuan kita.
  • "Kebenaran" bisa diperoleh dari orang lain, dari kepercayaan kita kepada orang yang lebih berpengetahuan. Kita bisa yakin akan "kebenaran" sesuatu walaupun "kebenaran" itu tidak kita alami atau saksikan sendiri.
  • "Kebenaran" bisa dipalsukan untuk maksud tertentu. Maka cermatilah motif penyampai "kebenaran".
  • "Kebenaran" bisa saja muncul dari sumber yang tidak terduga, bukan berasal dari sumber yang kita percaya.
Siapakah yang memiliki pengetahuan yang tak terbatas, Yang Maha mengetahui? Sumber dari semua "kebenaran"?
 
Referensi :
http://en.wikipedia.org/wiki/Theories_of_truth 
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/bumi-waktu-malam-bagaikan-kelereng-hitam-berpendar 
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Blue_Marble
http://www.pitt.edu/~dash/type1620.html#andersen

0 komentar:

Posting Komentar